Sejarah Salat Tarawih: Masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, hingga Umar bin Abdul Aziz

Embrio : Nabi Muhammad saw. menganjurkan kepada seluruh sahabat termasuk keluarganya untuk menghidupi malam-malam Ramadan dengan ibadah
Abu Hurairah menyampaikan : “Bahwa Rasulullah Saw memberikan motivasi kepada kita untuk melaksanakan qiyam Ramadan (walaupun) tanpa memerintahkan dengan kuat” (H.R. Al-Bukhari)
Respons Para Sahabat : Muncul salat sunah yang dilakukan di malam Ramadan yang kemudian dikenal dengan istilah qiyam Ramadan (belum muncul istilah salat tarawih).
- Lokasinya dilakukan di masjid Nabawi (ada yang berjamaah, ada pula yang melaksanakannya sendiri) dan terdapat pula yang melakukan di rumah
- Dilakukan hampir bersamaan dengan turunnya syariat puasa wajib Ramadan, berarti di tahun 2 H.
- Pada masa awal-awal ini, salat di malam-malam Ramadan lebih berupa anjuran umum, sehingga untuk jumlah rakaat masih bervariasi.
- Meski bervariasi, yang jelas para sahabat melakukan ibadah ini dengan semangat dengan waktu yang lama, banyak yang selesainya mendekati waktu sahur.
Ini terekam dalam hadis riwayat Ahmad dari Sayyidah Aisyah r.a.
“Orang-orang melaksanakan salat di Masjid Nabawi di malam-malam Ramadan itu berpisah-pisah. Mereka mengikuti orang yang punya hafalan Qur’an untuk dijadikan imam salatnya. Ada yang berjamaah dengan lima orang, ada yang berenam, atau lebih sedikit bahkan lebih banyak dari itu”
Bagaimana dengan Rasulullah, pernahkah melaksanakan qiyam Ramadan bersama di Masjid?
Menurut sahabat Abu Dzar Al-Ghifari : “Kami (para sahabat) berpuasa bersama Rasulullah saw. di bulan Ramadan dan beliau tidak pernah menghidupkan malam Ramadan bersama kami (di masjid) kecuali ketika malam 23. Beliau salat bersama kami sampai ⅓ malam. Malam ke 25 beliau menjadi imam kami sampai setengah malam. Malam 27 sampai sampai mendekati subuh”
Dari informasi ini, Rasulullah diindikasikan salat berjamaah di masjid bersama sahabat hanya 3 malam saja tanpa terdapat penyebutan secara eksplisit jumlah rakaatnya.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a : “Rasulullah (suatu waktu) pernah salat di bulan Ramadan, lalu aku berdiri di sampingnya (menjadi makmum) dan kemudian diikuti oleh yang lain, lalu bertambah banyak. Ketika Rasulullah menyadari terdapat sahabat-sahabat yang menjadi makmumnya. Beliau mempercepat salatnya kemudian kembali ke rumah. Ketika pagi datang, kami bertanya kepada Rasulullah “ya Rasulallah, apa khawatir memberatkan kami?” Rasulullah menjawab : “ya itu yang membuatku melakukan itu (mempercepat dan meneruskannya di rumah)”
Terdapat pula hadis yang menyampaikan : “Saya khawatir nanti diwajibkan untuk kalian dan kalian tidak mampu”
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Baariy menjelaskan kekhawatiran Rasulullah itu mencakup :
- Khawatir Qiyam Ramadan dianggap wajib seperti puasa Ramadan di siang harinya
- Khawatir ditafsirkan para sahabat jika qiyam Ramadan wajib dilaksanakan di masjid
Jumlah Rakaat
Qiyam Ramadan masa awal ini jumlah rakaatnya tidak terdapat riwayat yang jelas berapanya, masih sangat fleksibel dan bervariasi seperti yang dilakukan oleh para sahabat. Bagaimana dengan Rasulullah? (terutama ketika melakukan di rumah)
Menurut Bunda Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari :
“Dari sayyidah Aisyah : Rasulullah saw tidak pernah menambahkan lebih dari 11 rakaat salat di bulan Ramadan atau di bulan Ramadan. Beliau salat 4 rakaat, jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian beliau salat 4 rakaat lagi dan jangan juga jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat 3 rakaat.” (H.R. Bukhari)
Akan tetapi, terdapat pula riwayat yang disandarkan kepada Bunda Aisyah tentang jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah, seperti dari Imam Malik dalam kitab Al-Muwatta
“Dari sayyidah Aisyah: Rasulullah salat malam sebanyak 13 rakaat. Kemudian ia salat sunnah (qabliyah) subuh jika mendengar azan subuh dengan ringan” (H.R. Malik)
Terdapat pula yang menyatakan bahwa Rasulullah salat malam itu antara 7 rakaat, 9 rakaat atau 11 rakaat.
Akan tetapi, dengan jumlah rakaat yang diriwayatkan tersebut, harus digarisbawahi bahwa Rasulullah melakukan salat malam selalu sangat lama, seperti yang diriwayatkan oleh Hudzaifah yang menyampaikan bahwa ia pernah menjumpai dalam 1 rakaat Rasulullah membaca surat Al-Baqarah, Al-Imran dan An-Nisa’ (286 ayat + 200 ayat + 176 ayat = 662 ayat)
Pada Masa Abu Bakar
Pasca-Rasulullah saw. wafat, masuk ke masa kepemimpinan Abu Bakar qiyam Ramadan tidak terlalu banyak perubahan. Akan tetapi, terdapat satu hal yang baru adalah munculnya anak-anak (remaja) yang memiliki hafalan baik menjadi imam bagi kalangan sahabat perempuan. Pada saat ini diriwayatkan Bunda Aisyah sering menyediakan camilan sejenis roti untuk diberikan kepada remaja-remaja yang menjadi imam tersebut.
Pada Masa Umar bin Khattab
Setelah Abu Bakar wafat, kepemimpinan umat Islam beralih ke Umar bin Khattab. Pada masa ini mulai terjadi perkembangan dengan salat di masjid Nabawi menjadi sangat ramai. Muncul beberapa imam-imam yang saling “beradu” bacaan bagus untuk menarik jamaahnya. Para jamaah saat itu banyak yang terpencar-pencar dari 1 imam ke imam yang lain sesuai dengan bacaan Qur’an yang mereka sukai. Kondisi ini tidak disukai oleh Umar karena masjid memang hidup dengan banyaknya orang yang datang salat, tetapi malah menjadi gaduh. Akhirnya, Umar memunculkan kebijakan untuk menyatukan jamaah dengan 1 imam agar tidak terpencar-pencar dengan banyaknya imam. Bisa dikatakan sejarah awal salat tarawih berjamaah dimulai dari saat ini tahun 13 H.
Umar kemudian menunjuk Ubay bin Ka’ab menjadi imamnya dengan pertimbangan Rasulullah pernah bersabda: “orang yang paling baik bacaan Qur’annya adalah Ubai”. Umar juga menunjuk Sulaiman bin Abi Hatsmah sebagai imam khusus jamaah perempuan di tempat yang terpisah. Selain itu, karena pelaksanaannya yang lama hingga selesai mendekati subuh, terdapat pula nama Tamim al-Daariy sebagai imam pengganti Ubay di sisa setengah pelaksanaan salat malam Ramadan di Masjid Nabawi. Seiring berjalannya waktu, imam-imam yang ditunjuk semakin banyak.
Jumlah Rakaat
Jumlah rakaat di masa khalifah Umar bin Khattab bervariasi mulai dari :
- 8 rakaat 3 witir ini dilakukan masa awal dengan jumlah ayat per rakaat saat itu lebih dari 100 ayat. Pada masa awal qiyam Ramadan berjamaah ini tetap seperti masa sebelumnya dengan durasi yang sangat lama.
Riwayat al-Saib bin Yazid. Ia menyampaikan : “Umar r.a mengumpulkan orang untuk menjadi makmum Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Daariy. Dan keduanya jika salat itu membaca al-Miun di dalam satu rakaat. Sampai-sampai beberapa orang berpegang tongkat agar bisa berdiri, dan sebagian lain mengikat diri dengan tali ke atap agar tetap berdiri”
- 13 rakaat
Pada saat ditambahkan rakaat ini, bacaan dalam 1 rakaat dikurangi tidak lebih dari 100. Sekitar 50 sampai 60 ayat kemudian turun antara 30-25 ayat
- 18 rakaat
Bertambahnya rakaat berikutnya ini diiringi dengan berkurangnya ayat yang dibacakan dalam 1 rakaat. Kali ini mulai dibatasi di bawah 10 ayat. Salat dengan 18 rakaat yang salam setiap 2 rakaat dengan memberikan mereka beristirahat untuk berwudhu atau menunaikan hajat mereka
- 23 rakaat
Rakaat ditambah lagi menjadi 20 rakaat dengan 3 witir kemudian diaplikasikan. Konsep sama dengan yang di 18 rakaat. Adanya istirahat ini berarti ketika 20 rakaat terdapat istirahat 10 kali.
Dari proses di atas terlihat bahwa sedikit rakaat banyak bacaan atau banyak rakaat sedikit bacaan. Istilah salat tarawih diindikasikan muncul di masa khalifah Umar bin khattab ini karena adanya jeda istirahat di dalam salat tersebut. Tarawih berarti istirahat. Istilah qiyam Ramadan kemudian seiring berjalannya waktu dikenal dengan sebutan salat tarawih.
Masa Utsman bin Affan
Pada masa ini pelaksanaan melanjutkan apa yang sudah dilakukan yaitu 20 rakaat 3 witir dengan posisi imam saat itu ditunjuk Ali bin Abi Thalib. Ali menjadi imam selama 20 malam, 10 malam berikutnya Ali ingin melanjutkan ibadah sendiri sehingga ketika masuk ke malam 21 imam diganti oleh Abu Halimah Mu’adz.
Masa Ali bin Thalib
Ketika masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib pelaksanaan salat tarawih garis besarnya meneruskan tradisi yang sudah ada, yang membedakan antara lain :
- Ali mengumpulkan para qari untuk menjadi imam salat tarawih di masjid Nabawi. Ali bin Abi Thalib mengambil jatah imam ketika masuk waktu salat witir
- Jika pada masa Umar dan Utsman 20 rakaat itu mendapat istirahat 10 kali, masa Ali dipangkas menjadi 20 rakaat istirahatnya menjadi 5 kali.
Masa Umar bin Abdul Aziz
Pada tahun 99 H. Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin umat Islam. Ia melakukan perubahan jumlah rakaat salat di Masjid Nabawi. Dengan jumlah 36 rakaat dan 3 witir totalnya 39. Hal ini dilakukan karena ia melihat umat muslim yang melaksanakan salat tarawih di Mekkah 20 rakaat dengan 4 kali istirahat. Jamaah menggunakan 4 kali istirahat itu dengan ibadah tawaf mengelilingi Ka’bah. Karena jamaah Madinah tidak dapat melaksanakan tawaf maka ditambah jumlah rakaat tarawihnya. Setiap 1 kali tawaf yang dilakukan jamaah di Mekah, dihitung oleh Umar bin Abdul Aziz dengan 4 rakaat salat di Masjid Nabawi. Jadi karena jamaah di Mekah dengan 4 kali istirahat berarti 4 x 4 : 16. Jadi, 20 rakaat + 16 rakaat menjadi 36 rakaat bagi jamaah di Masjid Nabawi.
Fakta sejarah pelaksanaan tarawih tidak menyoal atau tidak menitikberatkan pada jumlah rakaatnya, berapa rakaat yang paling sunah. Akan tetapi, inti salat tarawih itu bisa berjalan sepanjang mungkin selama mungkin agar tetap kondusif: kualitasnya yang dicari.
Sumber :
Ahmad Zakarsih, Sejarah Tarawih : Jakarta Selatan, Rumah Fiqih Publisher, 2019.
Podcast channel Sirah Tv : “1000 tahun pelaksanaan tarawih di Masjid Nabawi” link https://www.youtube.com/watch?v=0btyiayuwbE&t=2222s
Oleh : Septiawan Fadly Candhra, M.Hum. (Guru Sejarah Kebudayaan Islam)